Koresponden Koranmerah.com – Konten hoaks disertai ujaran kebencian bermunculan melalui media sosial sepanjang masa pelaksanaan Pilkada NTB 2024. Fenomena ini dikhawatirkan dapat memicu konflik dan mengganggu stabilitas sosial. Koordinator Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), Nur Liya Ni’matul Rohmah, M.Kom, menyerukan kepada masyarakat untuk lebih kritis dan tidak mudah terpancing oleh informasi yang belum terverifikasi.
“Hoaks yang disertai ujaran kebencian terhadap paslon terpilih sering kali digunakan untuk mendiskreditkan individu atau kelompok tertentu. Ini sangat berbahaya karena dapat memperburuk polarisasi politik dan memecah belah masyarakat,” ujar Liya di Mataram, Minggu (8/11).
Hoaks tersebut menyerang pribadi paslon terpilih dengan tujuan merusak reputasi dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.
“Hoaks yang menyasar pasangan kepala daerah biasanya dirancang untuk melemahkan legitimasi mereka di mata masyarakat. Narasi ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan polarisasi dan konflik,” ujar Liya.
Contoh Hoaks Disertai Ujaran Kebencian
Beberapa contoh hoaks disertai ujaran kebencian yang ditemukan pada Pilkada NTB 2024.
Salah satu contoh adalah ketika Calon gubernur terpilih Lalu Muhamad Iqbal memakai bahasa inggris, dinarasikan sebagai calon yang tidak bisa bahasa daerah karena lama tidak berada di Provinsi NTB sehingga ia tidak layak menjadi pemimpin di NTB karena tidak mengetahui kultur daerah padahal Lalu Iqbal sendiri adalah putra NTB yang berasal dari Kabupaten Lombok Tengah, tepatnya kota Praya dan sangat lancar berbahasa daerah.
Selain itu adanya narasi yang mendeskreditkan Calon Gubernur NTB no urut 2, Zulkifliemansyah. Dimana semasa menjabat menjadi Gubernur NTB periode 2018-2021 banyak hutang yang ditinggalkan, padahal dalam proses hutang daerah dilakukan bersama dengan DPRD. Narasi tersebut juga dibumbui oleh narasi kebencian, bahwa Zul gagal menjadi gubernur karena urusan pribadi soal perkawinan yang berulangkali dengan wanita, padahal hal tersebut bagian dari usauan pribadi secara privat.
Narasi Ujaran Kebencian di NTB
Adapun spesifik terkait ujaran kebencian pada Pilkada 2024, pemantauan kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash Data & Democracy Research Hub dilakukan di lima provinsi, salah satunya Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasil pemantauan sepanjang Agustus-September 2024 di NTB menemukan, ujaran kebencian terpantau menjadi dua narasi:
- Dibungkus dengan judul provokatif, seringkali memancing emosi
- Menargetkan kelompok atau individu berdasarkan karakteristik atau identitas seperti ras, agama, atau gender.
- Kecenderungannya tidak menyertakan sumber yang jelas
- Menggunakan video atau foto yang dimanipulasi atau diedit dan disebarkan di luar konteks
- Menggunakan isu identitas atau memuat isu SARA
- Memelintir atau memplesetkan pernyataan kandidat dan membubuhi dengan ujaran kebencian
- Memuat narasi penghinaan, provokasi, menghasut atau menyebarkan informasi bohong
Cara Menghadapi Hoaks Disertai Ujaran Kebencian
1. Amati dan cermati isinya
2. Baca secara utuh, karena seringkali hoaks hanya memuat potongan informasi atau mencerabut konteks peristiwa sehingga berpotensi menyesatkan
3. Cek sumbernya, jangan langsung percaya
4. Diskusikan dan hindari buru-buru berbagi
Koordinator Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), Nur Liya Ni’matul Rohmah mengungkapkan salah satu cara efektif untuk menangkal hoaks adalah dengan menerapkan teknik ABCD: Amati, Baca lengkap, Cek sumbernya, dan Diskusikan. Teknik ini diharapkan dapat menjadi langkah awal yang sederhana namun berdampak besar dalam mengurangi penyebaran informasi palsu.
“Sering kali, hoaks dibungkus dengan judul provokatif yang memancing emosi. Jangan langsung percaya, tapi amati apakah isi informasi tersebut masuk akal,” katanya.
Tahap berikutnya adalah Baca lengkap informasi sebelum menyimpulkan. Ahmad menekankan pentingnya membaca isi berita hingga tuntas, karena hoaks sering kali hanya memuat potongan informasi yang tidak mencerminkan kebenaran.
“Setelah itu, Cek sumbernya. Informasi yang valid biasanya berasal dari media resmi atau lembaga yang memiliki reputasi baik. Jika informasi berasal dari akun anonim atau situs tidak terpercaya, ada baiknya untuk diabaikan,” jelasnya.
Langkah terakhir adalah Diskusikan informasi yang mencurigakan. Ahmad menyarankan masyarakat untuk berdiskusi dengan orang lain, termasuk teman, keluarga, atau ahli, sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi.
“Diskusi dapat membuka perspektif baru dan membantu mengidentifikasi apakah informasi tersebut benar atau tidak,” tambahnya.
Liya juga mengingatkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga kondusifitas politik pasca-pemilu. “Jangan biarkan hoaks dan ujaran kebencian menghancurkan kepercayaan terhadap paslon terpilih. Kita harus mendukung mereka dengan kritik yang membangun, bukan dengan kebencian,” tegasnya.
Hal sama disampaikan ujar Tokoh Masyarakat Lombok Timur, Muhammad Fahri, yang mengimbau Warga Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk tetap kompak menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta menghindari perpecahan setelah Pilkada Serentak pada 27 November 2024.
“Masyarakat telah memberikan hak suaranya di Pilkada Serentak 2024. Setelah selesai pemilihan, masyarakat harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan untuk kemajuan daerah,” ujarnya.
Mantan Camat Masbagik tahun 2017 itu juga mengingatkan masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial. Ia mengimbau agar tidak langsung percaya terhadap informasi yang diterima dan terlebih dulu memverifikasi kebenaran.
“Masing-masing pendukung pasangan calon (paslon) yang kalah harus legowo tanpa memunculkan narasi negatif, sementara pendukung paslon yang menang sebaiknya tidak berlebihan dalam merayakan kemenangan,” tambahnya.
Menurut Fahri, siapapun yang terpilih dalam Pilkada Serentak 2024 adalah pemimpin terbaik yang telah dihasilkan. Ia berharap para pemimpin yang terpilih dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat NTB.
“Intinya tetap jaga kesatuan dan persatuan NKRI, serta saling menjaga kesantunan pasca Pilkada,” katanya.
Fahri juga mengajak kelompok-kelompok yang masih bersikap anti-demokrasi untuk kembali mengkaji pandangan mereka. Menurutnya, demokrasi adalah sarana untuk menjaga dan mempertahankan persatuan bangsa, bukan ancaman.
“Masyarakat harus semakin cerdas dalam menyaring informasi, terutama di era digital yang dipenuhi hoaks dan provokasi,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa masa pasca Pilkada sering menjadi fase rawan konflik akibat ketidakpuasan atau manipulasi informasi. Namun, yang seharusnya diutamakan adalah mempererat persaudaraan, bukan memicu perpecahan.
“Jangan mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang sengaja memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa demi kesejahteraan bersama,” pungkas Fahri.