Jangan Terjebak, Kenali Hoaks Politik Identitas Menjelang Pemilu

Photo of author

By Editor

OLEH SARJAN LAHAY

Ilustrasi jangan terjebak dengan hoaks. (Sumber foto: Internet)

Apakah kamu masih ingat dengan kasus hoaks yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah seorang Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014? isu Jokowi seorang PKI itu mulai tersebar sejak tabloid Obor Rakyat menurunkan tulisan soal riwayat calon presiden Joko Widodo pada Mei 2014 atau dua bulan sebelum Pilpres 2014 berlangsung.

Dalam tabloid Obor Rakyat, Jokowi disebut sebagai “Capres Boneka” yang harus menjalankan perintah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan melayani kepentingan Megawati, Ketua Umum PDIP. Sebagian tulisan tabloid itu juga menuding Jokowi sebagai Muslim yang menyimpang; keturunan Cina dan simpatisan komunis.

Selain itu, dalam tabloid Obor Rakyat mengklaim bahwa Jokowi sejatinya bukan merupakan putra dari Widjiatno Notomihardjo, melainkan putra dari salah seorang tokoh PKI bernama Oey Hong Leong. Jokowi juga disebut-sebut memiliki nama baptis; Hubertus Handoko. Informasi seperti ini menciptakan sentimen terhadap agama tertentu.

Gambar Tabloid Obor Rakyat yang menyebut Jokowi adalah “Capres Boneka” menuding Jokowi sebagai Muslim yang menyimpang; keturunan Cina dan simpatisan komunis. Tobaloid ini disinyalir menjadi pemicu awal meningkatnya berita palsu dengan isu identitas berbasis SARA.

Tabloid itu dicetak sekurang-kurangnya seratus ribu eksemplar dan disebarkan ke pesantren dan masjid di pulau Jawa untuk untuk menyudutkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla selama Pemilu 2014. Bahkan, La Nyalla yang merupakan eks kader Gerindra dan juga Ketua DPD Republik Indonesia saat ini mengaku bahwa dirinya yang menyebarkan tabloid itu di Jawa Timur.

Faktanya, apa yang ditulis di tabloid Obor Rakyat merupakan informasi yang menyesatkan atau disebut berita bohong (hoaks). Pasalnya, Jokowi bukanlah orang PKI maupun keluarganya, bahkan dirinya dan keluarganya beragama islam. Pemimpin di balik Tabloid Obor Rakyat divonis bersalah pada 2016.

Terbentuknya Hoaks Politik Identitas

Hoaks isu PKI yang dilekatkan kepada Jokowi sebagai identitas dirinya dengan landasan bahwa komunis sama dengan ateis di Indonesia merupakan salah satu senjata yang digunakan untuk ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Pasalnya, seseorang yang atheis kerap diartikan sebagai seseorang yang menentang agama.

Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Berbagai informasi palsu pun diproduksi oleh aktor-aktor yang bersembunyi di balik layar tim pemenangan kandidat dengan tujuan menyebarkan kampanye hitam untuk menurunkan citra ke lawan politiknya.

Kasus hoaks yang dibuat oleh tabloid Obor Rakyat pada 2014 itu disinyalir menjadi pemicu awal meningkatnya berita palsu dengan isu identitas berbasis SARA yang kerap terjadi setiap menjelang pemilu. Hal itu berdasarkan hasil penelitian Wegik Prasetyo dari Research Centre for Politics and Government (PolGov).

Wigik menjelaskan, hoaks dengan isu identitas berbasis SARA terus digunakan hingga menjelang pemilu. Misalnya, pada Februari menjelang Pemilu 2019, beredar di media sosial sebuah foto Jokowi bersama seorang wanita yang diklaim adalah ibu Jokowi bernama Sulami, yang merupakan aktivis Gerakan Wanita Komunis Indonesia atau Gerwani.

Tangkapan layer cek fakta mengenai hoaks yang menyebutkan Ibu Jokowi merupakan aktivis Gerakan Wanita Komunis Indonesia atau Gerwani. (Sumber: Cek Fakta Liputan6.com)

Lagi-lagi, informasi itu merupakan hoaks untuk menciptakan sentimen terhadap agama tertentu. Tempo.co telah menurunkan laporan terkait tudingan PKI yang dialamatkan kepada Jokowi Jokowi dengan berjudul: “Dua Akademikus Menulis Buku Sangkal Jokowi Anak Anggota PKI”. Tirto.id pun juga telah menurunkan laporan yang menjelaskan asal-usul ibunda Jokowi.

Tak hanya Jokowi, di tahun yang sama, tersebar sebuah narasi biografi tentang Capres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa nama asli Ayahnya adalah Soo ming tauw (kanton) atau Soo minh doo (Hokian). Sementara itu, dalam narasi itu juga disebut putra tunggalnya adalah Gay dan pendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Tangkapan layer penelusuran cek fakta mengenai disinformasi terkait biografi tentang Capres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 lalu. (Sumber: Cek Fakta Kominfo RI)

Hasilnya sama, biografi Prabowo Subianto merupakan informasi palsu atau hoaks yang sengaja dibuat untuk memobilisasi suara dalam pemilu dengan isu identitas berbasis SARA. Adapun kebenaranya nama asli Ayah dari Prabowo adalah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan narasi tentang anak sulung Prabowo adalah tidak benar alias Hoaks.

Menurut Wegik, dalam penelitianya menjelaskan, penggunaan hoaks dengan isu identitas berbasis SARA dipercaya sangat efektif untuk memobilisasi suara dalam Pemilu. Pasangan calon 01, pasangan calon 02 menjadi target utama setiap menjelang pemilu 2019.

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat  tahun 2018 dan 2019, ada sekitar 997 dan 1.221 hoaks yang diproduksi. Hoaks politik mendominasi sekitar 52% alias lebih dari setengah hoaks yang beredar. Sisanya, hoaks, agama, kesehatan, kriminalitas, dan bencana.

Waspada Penyebaran Hoaks Politik Identitas

Menjelang Pemilu 2024, kewaspadaan terhadap penyebaran misinformasi dan disinformasi tentang politik identitas perlu tingkatkan dan menjadi perhatian bersama. Mafindo mengingatkan, masyarakat harus waspada terhadap pihak-pihak yang membagikan konten yang isinya hoaks, fitnah, dan hasutan pada tahun politik ini.

Menurut Mafindo, informasi palsu, dapat menyebabkan masyarakat terbelah secara politik dan itu berbahaya untuk negara demokrasi. Pasalnya, hoaks isu identitas berbasis SARA akan menjadi ranjau bagi demokrasi negara ketika ditumpangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan memang menginginkan perpecahan Indonesia.

Hoaks isu identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah Pemilu. Hal itu dikhawatirkan secara lambat laun akan mencederai demokrasi

Laporan BBC pada 2019, hasil survei Polmark menyebutkan sebanyak 5,7 persen responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2018 telah merusak hubungan pertemanan akibat adanya hoax. Angka ini naik dari survei serupa pada Pilpres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap Pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat.

Mengenali Trik dan Modus Hoaks Politik Identitas

Dengan penjelasannya diatas, anda perlu mengenali trik dan modus hoaks politik identitas yang kerap digunakan setiap menjelang pemilu, khususnya Pemilu 2024 nanti. Penting bagi kita semua tidak langsung mempercayai saat menerima informasi, karena bisa jadi informasi itu adalah salah dan bisa mengancam keutuhan NKRI. Berikut trik dan modus hoaks politik identitas:

  1. Menggunakan label media online

Salah satu trik dan modus untuk menyebarkan informasi palsu atau hoaks adalah dengan melakukan penyuntingan dengan menggunakan label salah satu media online. Misalnya, pada September 2022 lalu, beredar di media sosial Twitter, sebuah unggahan foto berisi narasi bahwa “Partai Komunis Indonesia (PKI) menganggarkan uang senilai Rp5 triliun untuk memuluskan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga tiga periode

Tangkapan layer penelusuran cek fakta mengenai Jokowi yang dikaitkan dengan PKI dengan modus menggunakan label salah satu media online. (Sumber: Cek Fakta Mafindo)

Dalam informasi tersebut, ada penyuntingan dengan sengaja menggunakan label salah media online yaitu CNN Indonesia agar penerima informasi bisa langsung percaya. Padahal, informasi itu merupakan klaim yang tidak benar dan bisa menyesatkan, dan itu merupakan salah satu bentuk hoaks politik identitas menjelang pemilu 2024.

Penggunaan label media online menjadi salah satu trik dalam penyebaran informasi palsu yang kerap digunakan. Dikutip dari Independen.id, CNN Indonesia menjadi urutan pertama logonya yang kerap digunakan dalam menyebarkan hoaks, setelah Detik.com, Kompas TV, Kompas.com, Majalah TEMPO, Merdeka.com, serta Narasi TV atau program Mata Najwa.

  1. Menyunting foto

Selain menggunakan label media online, trik dan modus untuk menyebarkan informasi palsu atau hoaks adalah dengan melakukan penyuntingan foto. Misalnya, Desember 2018, akun twitter @MarikaRahman_ mengunggah foto Prabowo yang tampak mengenakan pakaian Uskup di suatu gereja. Ia mempertanyakan, apakah foto hoaks atau bukan.

Tangkapan layer penelusuran cek fakta mengenai hoaks terkait Prabowo yang berpaian Uskup di Gereja dengan modus melakukan penyuntingan foto. (Sumber: Cek Fakta Mafindo)

Setelah dilakukan penelusuran, foto Prabowo yang mengenakan pakaian Uskup dengan kegiatan seperti sedang memberikan khutbah di suatu gereja tidak benar adanya. Foto Prabowo tersebut adalah hasil editan yang sumbernya berasal dari foto pemberitaan media daring http://hariansib.co yang judul beritanya “Uskup Agung Medan Berkati Gereja Paroki Pertama di Kabanjahe,” ditayangkan pada Senin, 17 Februari 2014.

Foto asli dalam berita media daring itu ialah foto Uskup Agung Medan Mgr Anicetus B Sinaga yang sedang memberikan kotbahnya pada peresmian pembangunan gereja Paroki di hadapan sekitar 4000 umat dan undangan di Jalan Letnan Rata Perangin Angin, Kabanjahe, Minggu (16/2/2014).

Akun Twitter Partai Gerindra atau @Gerindra juga memberikan klasifikasinya atas cuit @MarikaRahman_. “Selamat siang Ibu Marika, foto yang Ibu upload tersebut adalah editan dan tidak benar. Tolong cerdas dalam menerima dan menyebarkan berita. Terima kasih,” tulis @Gerindra, Selasa (4/12/2018).

Informasi palsu tersebut merupakan salah satu kasus hoaks dengan muatan politik identitas yang melabelkan Prabowo sebagai seorang yang bukan beragama islam. Pola penyebaran hoaks itu kerap dilakukan setiap menjelang pemilu dengan melakukan penyuntingan foto agar publik bisa percaya.

Untuk melakukan verifikasi mandiri terkait penyebaran informasi hoaks dengan modus menyunting foto, anda bisa menggunakan alat pencarian gambar seperti Google Image atau Yandex Image. Melalui dua platform itu, anda bisa mengetahui sumber foto aslinya

  1. Disebarkan oleh situs tidak kredibel

Selain itu, penyebaran informasi palsu juga kerap dimuat di situs abal-abal yang tidak kredibel. Misalnya, Januari 2019 menjelang Pemilu, operain.blogspot.com memproduksi srtikel berjudul “Ma’ruf Amin: Jika Saya Kalah, Umat Islam Akan Berdosa dan Masuk Neraka Semua!!”. Narasi itu diproduksi oleh kelompok atau aliran tertentu untuk memberikan dukungan pada paslon tersebut.

Tangkapan layer penelusuran cek fakta mengenai hoaks terkait Ma’ruf Amin dengan modus
dimuat dan disebarkan melalui situs abal-abal yang tidak kredibel. (Sumber: Cek Fakta Mafindo

Setelah dilakukan penelusuran, informasi itu merupakan hoaks dan menyesatkan, karena artikel tersebut diubah judul dan konteks isi beritanya dari pemberitaan Ma’ruf Amin saat berkunjung ke Bandung, Jawa Barat. Ma’ruf ternyata tidak pernah mengucapkan kalimat tersebut.

Situs dunia operain.blogspot.com tidak memenuhi unsur sebagai portal media yang kredibel karena tidak memuat siapa penanggung jawab dan alamat media sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Hal itu bisa menjadi indikator buat anda untuk curiga dan tidak mempercayai isinya!.

Bagaimana cara melakukan verifikasi informasi?

Sekitar 5 tahun terakhir, sudah banyak kanal cek fakta yang bisa membantu untuk menemukan kebenaran dari sebuah informasi. Untuk mengetahui kebenaran suatu informasi dan memeriksanya serta membandingkan dengan sumber terpercaya, Anda bisa melakukan Langkah sebagai berikut:

  1. Anda harus skeptis, atau jangan langsung percaya, apalagi langsung menyebarkannya jika menemukan judul yang provokatif. Caranya, anda bisa menggunakan mesin pencari seperti Google.com, Bing.com, lalu masukkan judul informasi yang Anda terima. Cara lain adalah dengan membuka situs medianya, lalu masukkan judul yang akan Anda cek.
  2. Setelah memasukan judul yang anda ingin cek kebenarannya, mesin penelusuran akan memunculkan sejumlah situs cek fakta yang telah memeriksa kebenaran informasi tersebut. Anda harus membaca artikel itu hingga selesai lalu sebarkan tautannya ke media sosial agar keluarga atau kawan-kawan Anda tidak termakan hoaks serupa.
  3. Jika ada melakukan verifikasi keaslian foto yang tersebar di media sosial, anda bisa memanfaatkan fitur Google Image atau Yandex Image. Melalui fitur ini, anda bisa mengetahui asal usul gambar yang beredar di media sosial. Dengan fitur itu juga, Anda juga bisa mengetahui gambar itu apakah hasil editan atau tidak.
  4. Anda juga bisa mengunjuni situs cekfakta.com dan masukkan kata kunci sesuai informasi yang ingin Anda cari. Situs cekfakta.com adalah platform untuk melawan hoaks, kolaborasi antara Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia dan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, bersama 24 media kredibel. Platform tersebut berisi kumpulan artikel cek fakta yang telah dibuat oleh sejumlah media.
  5. Agar lebih mudah, anda juga bisa menanyakan informasi yang ingin di cek kebenarannya melalui hotline Whatsapp yang telah dimiliki oleh beberapa organisasi cek fakta yakni Mafindo 089680060088, Tempo 081315777057, dan Liputan6.com 08119787670.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi antara penadata.id dan cekfakta.com termasuk di dalamnya AJI Indonesia, AMSI, MAFINDO dan didukung oleh Google News Initiative.

https://infogram.com/infographic-modern-1h8n6m31njm7z4x

Tinggalkan komentar