OLEH ARFANDI IBRAHIM
Hendrik Otane tampak serius memandangi layar ponselnya. Sambil sesekali seruput kopi, dia tepekur menyimak apa yang tengah ramai di media sosial kala itu: unggahan stupa Candi Borobudur berwajah Presiden Jokowi.
Editan foto yang tampak nyata itu membuat dirinya hampir percaya bahwa unggahan tersebut
benar adanya. Apalagi gambar itu juga dibagikan ulang akun Twitter resmi mantan Menteri
Pemuda dan Olahraga Roy Suryo. Roy Suryo kala itu mengunggah meme stupa Candi Borobudur mirip dengan Presiden Joko Widodo di akun Twitternya, dengan dilengkapi caption, “Pantas saja tiketnya mahal. Ternyata Opung sudah buat patung ‘I Gede Utange Jokowi’ untuk tambahan dana bangun IKN.” Ada dua meme hoaks Candi Borobudur yang diunggah Roy Suryo pada Jumat 10 Juni 2022 lalu.
Pada foto kedua, meme tersebut diduga sudah diedit sehingga wajahnya mirip Jokowi. Caption dalam foto kedua tersebut juga tak kalah menyentil, “Si stupa candi borobudur ada patung dewa anyar.”
Meski sudah meminta maaf, Roy Suryo tetap dilaporkan ke polisi atas kasus dugaan ujaran
kebencian. Hakim menilai Roy terbukti sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan kebencian atau permusuhan individu, berdasarkan atas suku ras agama dan
antargolongan (SARA) sebagaimana dakwaan alternatif pertama Jaksa Penuntut Umum (JPU),
dengan vonis 9 bulan penjara.
Contoh lain, soal beredarnya informasi tentang video salah seorang bernama Faisal Assegaf yang mengatakan Presiden Jokowi memiliki 32 rekening yang bersumber dari komunis China. Dalam video berdurasi 1 menit 41 detik itu, dibagikan oleh akun facebook palsu, lantas video yang mencatut Aktual TV di bagian pojok kiri atas itu sudah ditonton lebih dari 45 ribu kali.
Dalam video tersebut, Faisal Assegaf melakukan siaran pers dan mengatakan bahwa 32 rekening Jokowi itu berisi uang senilai 8 juta dollar Amerika Serikat. Ia pun mempermasalahkan mengapa KPK tidak memverifikasi keberadaan rekening-rekening itu saat pencalonan Jokowi sebagai calon presiden.
Faktanya, video yang tersebar di medsos itu, sudah beredar sejak bulan Agustus 2014. Kala itu, Progres 98, menggelar Konferensi Pers di Rumah Polonia 21, Cipinang Cempedak. Mereka mengklaim telah menemukan dugaan penyimpangan serius berupa manipulasi laporan kekayaan Calon Presiden Joko Widodo.
Tidak hanya itu, belum lama ini beredar di media sosial artikel yang mencatut nama media Liputan6.com berjudul “Optimis Menang Pemilu 2024, Puan: Kita Bersama Wong Licik”. Postingan itu beredar sejak beberapa waktu lalu
Setelah ditelusuri dengan melakukan pencarian di Liputan6.com. Hasilnya tidak ada judul artikel seperti dalam postingan yang beredar di media sosial. Artikel sebenarnya yang identik dengan postingan berjudul “Optimis Menang Pemilu 2024, Puan: Kita Bersama Wong Cilik”. Artikel itu diunggah sama dengan yang ada dalam postingan yakni 1 Agustus 2022.
Unggahan melalui media sosial facebook itu menampilkan sebuah tangkapan layar dari sebuah artikel berita yang sudah diedit. Bahkan unggahan itu juga ditambahkan dengan kata ‘kebangetan’ oleh akun yang mengunggahnya.
Itulah merupakan contoh hoaks bagaimana ujaran kebencian atau Hate speech kerap dimainkan, apalagi menjelang pemilu 2024. Hoaks yang berisi ujaran kebencian digunakan karena dianggap manjur dalam meraup keuntungan politik kelompok tertentu.
Data Hoaks
Melalui ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial, bisa dipastikan, itu bakal menjadi pemicu banyaknya produksi hoaks. Apalagi, ujaran kebencian itu dilakukan oleh tokoh publik yang dianggap berpengaruh, akan ada akun media sosial anonim yang akan membagikan itu dengan narasi berbeda sehingga terciptalah informasi hoaks.
Bisa dibayangkan, data Kominfo menjelang pemilu 2019 lalu, sebaran hoaks yang terjadi di Indonesia sangatlah banyak. Hoaks tentang politik itu berada di angka 52.0 persen disusul oleh hoaks tentang agama di angka 8.4 persen. Sementara berita bohong tentang kesehatan, berada di angka 7.0 persen.
Selain itu, berita bohong tentang kriminalitas berada di angka 5.8 persen, disusul hoaks tentang bencana. Dari data ini, kita bisa menyimpulkan bahwa berita hoaks terkait politik berada di angka paling atas dan berpotensi akan meningkat jelang pemilu 2024.
Karena itu, ini penting diangkat ke publik mengingat resiko terhadap isu ujaran kebencian dampaknya sangat terhadap masyarakat, sebab media sosial merupakan tempat yang terbuka sehingga ujaran kebencian yang dilontarkan dapat terlihat dan mudah disebar oleh banyak orang.
Sementara, bagi pelaku penyebar ujaran kebencian, bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2), orang yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan dapat dipidana penjara paling lama enam tahun.
Pencegahan
Untuk mencegah itu, penting bagi kita untuk menyaring setiap informasi yang belum jelas sebelum mengambil kesimpulan. Bisa dipastikan, informasi palsu tentang politik, bisa memicu konflik antar individu atau kelompok masyarakat, apalagi saat menjelang pemilu.
Agar kita tidak terjerumus kedalam informasi palsu, mari mengenali bagaimana memverifikasi hoaks isu ujaran kebencian. Selain itu, bagaimana hoaks politik bermuatan ujaran kebencian dibuat dan beredar.
- Periksa Media dan Akun. Biasanya, para penyebar hoaks ujaran kebencian tidak memiliki situs media resmi dan akun media sosial asli. Saat ini siapa saja bisa memiliki akun media sosial dalam jumlah banyak. Mereka lebih cenderung menggunakan akun anonim agar terhindar dari jeratan hukum. Sedangkan situs yang biasanya digunakan tidak memiliki domain resmi. Biasanya, alamat URL situs yang memuat berita, jika berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi, seperti menggunakan domain blog maka informasinya meragukan.
- Judul Provokatif. Kasus Hoaks ujaran kebencian biasanya menggunakan judul yang cenderung provokatif. Dengan judul tersebut, mereka berusaha membuat pembaca menjadi emosi usai membaca judul. Beberapa media online tidak resmi dengan sengaja menampilkan judul provokatif untuk menarik perhatian pembaca. Biasanya, judul berita yang ditampilkan hanya sepenggal potongan isi berita yang dianggap menarik untuk dibaca. Jika menemukan judul yang sensasional, sebaiknya pembaca memverifikasi itu dengan cara membaca semua isi beritanya. Jika ditemukan isi berita provokatif dan tidak berimbang, maka disarankan untuk tidak membagikan berita tersebut.
- Lakukan Pengecekan. Jika ada informasi yang dirasa keliru, bisa dengan melakukan pengecekan ulang. Biasanya berita yang heboh itu dimuat oleh berbagai media arus utama. Lakukan perbandingan isi berita dari satu media dengan media lain. Hal itu lebih dianggap maksimal dalam melakukan pengecekan apakah berita tersebut hampir mirip atau tidak. Jika statement sumbernya berbeda maka bisa dipastikan informasi tersebut hoaks.
- Cek Keaslian Bukti Foto atau Video. Biasanya, konten visual bisa menjadi media penyebaran berita bohong di media sosial. Foto dan video sebagai pendukung bahan aktual yang mendukung benar tidaknya satu berita. Para pelaku penyebar berita bohong kerap kali melakukan editing video dan gambar sebelum disebar. Untuk mengecek keaslian foto, bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
- Cek Berdasarkan Keyword. Selain itu dengan pencari Google kita juga bisa mengecek keyword kata kunci berita yang ingin dicari. Seperti contoh, beredar informasi terkait Presiden Jokowi yang diberitakan merupakan keturunan PKI. Di Kolom pencarian Google Gorontalo bisa kita masukan kata kunci Jokowi PKI, maka secara otomatis akan muncul berita serupa yang bisa dilihat, sebagai bahan pertimbangan pembaca untuk memastikan Informasi Jokowi PKI benar atau tidak.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi Liputan6.com dan cekfakta.com termasuk di dalamnya AJI Indonesia, AMSI, MAFINDO dan didukung oleh Google News Initiative.