Stop Hoaks Penculikan Anak! Begini Dampak dan Cara Menghindarinya

Photo of author

By Adi Syafitrah

OLEH FRANCO BRAVO DENGO

Ilustrasi fake news penculikan anak

Isu penculikan anak tidak pernah tidak berhasil melambungkan keresahan di tengah masyarakat. Apalagi, dalam beberapa tahun belakangan, jumlah kasus penculikan anak terus meningkat.

Merujuk data, di awal tahun 2023 ini saja, Polri telah menindak sekitar 21 kasus penculikan (sebagian besar anak-anak). Jumlah ini bahkan telah melampaui total kasus penculikan anak yang ditangani Polri tahun 2022, yakni sebanyak 20 kasus.

Tren kasus penculikan anak (Sumber: Istimewa)

Hal itu sudah cukup membuat para orangtua was-was dan menimbulkan kekalutan di tengah masyarakat secara umum. Namun, di era banjir informasi ini, ada yang tak kalah mengkhawatirkan ketimbang kasus penculikan anak, yakni masifnya mis/dis-informasi (Hoaks) soal penculikan anak itu sendiri.

Sudah banyak contoh kasus Hoaks penculikan anak yang umumnya bermula dari media sosial. Setahun terakhir saja, Juni 2022-Juni 2023, cekfakta.com menemukan setidaknya ada tujuh hoaks soal penculikan anak yang beredar di media sosial. Artinya, hoaks penculikan anak selalu beredar di media sosial setiap dua bulan. Biasanya berupa foto-foto atau sindikat penculik anak yang sebenarnya sudah dibagikan berulang-ulang. Foto-foto tersebut dilengkapi dengan logo lembaga kepolisian untuk mengecoh warganet.

Cek fakta isu penculikan anak (Sumber : Google)

Selain foto, ada juga konten berbentuk video yang biasanya dibarengi dengan narasi yang menyesatkan dan membuat panik. Contohnya seperti ini: “Teman2 silahkan diviralkan … penculikan anak untuk dijual dan diambil jantungnya adalah nyata dan bukan hoax. semoga lebih banyak lagi Para Orang Tua lebih waspada….penculik mengaku bapak dari anak tersebut,untung anak itu bilang ” itu bukan bapaknya” di butuhkan kewaspadaan petugas atau yg encurigai bila ada orng orng yg berlaku aneh,waspada…”

Dampak dari hoaks penculikan anak alih-alih meningkatkan kewaspadaan, yang terjadi justru lebih ekstrim dan merugikan diri sendiri. Seperti halnya kasus yang terjadi di Gorontalo beberapa waktu yang lalu. Akhir tahun 2021, gambar seorang nenek ramai di linimasa Facebook di Gorontalo. Gambar itu dibarengi dengan narasi-narasi yang menyatakan bahwa sang nenek dicurigai sebagai sindikat penculikan anak, atau yang sering disebut Gola.

Isu penculikan anak di media sosial (Sumber : Tangkapan layar)

Gola sering digambarkan masyarakat Gorontalo sebagai sosok misterius, menyeramkan, dan sadis. Hampir setiap tahun, isu tentang Gola selalu mencuat dan marak di Gorontalo. Tak hanya di tingkat lokal saja, isu ini bahkan sempat trending di media nasional mainstream seperti Kompas.com, tahun 2022 kemarin. Setelah mendapatkan doxing demi doxing di Facebook, akhirnya sang nenek dipersekusi di sebuah pasar, 19 Agustus 2021. Beberapa orang mendatangi nenek tersebut, mereka mengikat tangannya, mengaraknya, memukulnya, lalu menyiarkan secara langsung persekusi tersebut di Facebook.

Isu penculikan anak di media sosial (Sumber : Tangkapan layar)

Polisi langsung mengamankan si nenek dari amukan massa. Dan, setelah melakukan penyelidikan berlanjut, polisi menyatakan bahwa nenek tersebut adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Dia juga bukan sindikat penculik anak seperti yang ditudingkan. Polisi mengonfirmasi bahwa para pelaku persekusi tersebut positif termakan Hoaks.

“Masyarakat sekitar panik akan terjadi hal yang diinformasikan seperti yang sebelumnya (penculikan anak di media sosial), makanya masyarakat sekitar melakukan tindakan main hakim sendiri,” ujar Muhammad Nauval Seno, Kasat Reskrim Polres Gorontalo, dilansir media kronologi.id.

Polisi menetapkan lima orang tersangka dari tindakan persekusi terhadap seorang wanita paruh baya tersebut. Alih-alih menjadi waspada atas kasus penculikan anak, yang terjadi malah terlibat kriminalitas dan merugikan diri sendiri.

Selain itu, baru-baru ini, Kamis (23/2/2023), misinformasi mengenai penculikan anak bahkan memantik sebuah kerusuhan besar di Papua. Dilaporkan BBC Indonesia, kerusuhan 10 orang tewas, 14 orang luka-luka, dan satu anggota polisi tertembak panah di Kampung Sapalek, Distrik Wamena. Sejumlah rumah dan kios juga dibakar massa.

Isu penculikan anak di media sosial (Sumber : Tangkapan layar)

Satu bulan sebelum kejadian itu, Rabu (25/1/2023), sejumlah orang di Sorong, Papua Barat Daya membakar hidup-hidup seorang perempuan dengan gangguan jiwa karena dituduh sebagai penculik anak. Kejadian itu bermula dari isu penculikan anak yang marak di media sosial.

Isu penculikan anak di media sosial (Sumber : Tangkapan layar)

Misinformasi dan disinformasi yang tersebar di media sosial biasanya berawal dari postingan yang dibagikan oleh akun anonim, lalu dibagikan berulang dan viral. Postingan-postingan itu berupa berita atau foto dan video yang membuat masyarakat panik. Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika mendapatkan informasi soal penculikan anak di sosial media?

1. Saring Sebelum Sharing. Tindakan ini sangat penting diberlakukan untuk menghindarkan kita dari penyebaran hoaks. Sebisa mungkin jangan langsung membagikan apa saja informasi yang kita terima di media sosial—khususnya soal penculikan anak. Dalam banyak kasus, keinginan membagikan konten dengan cepat alhasil menjerat kita dalam lingkaran penyebaran hoaks.

2. Verifikasi dan Pengecekan. Langkah berikutnya adalah melakukan verifikasi. Bisa dimulai dengan memeriksa akun yang membagikan konten. Periksa apakah akun yang membagikan betul-betul akun pribadi atau anonim. Akun anonim biasanya tidak memakai foto profil atau terkadang mencomot foto artis dan memakai nama samaran atau inisial. Pembuat akun anonim berusaha merahasiakan identitas dirinya agar ia bisa bebas berpendapat di dunia maya.

Selanjutnya, verifikasi konten yang dibagikan. Jika konten tersebut dalam bentuk berita, maka periksalah media yang memberitakan. Kunjungi website-nya. Apakah situs berita itu sudah terverifikasi sebagai institusi pers resmi atau tidak. Dengan cara mengecek nama media tersebut di website https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers.

Periksa juga penulis dan editor yang bertanggungjawab atas berita itu. Kemudian jajaran redaksi serta informasi mengenai profil media (alamat, badan hukum, dan Jika tidak ada, bisa dipastikan itu berita hoaks atau porduk-produk berita dari media tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Jika kontennya berupa foto dan video, kita bisa memanfaatkan google tools, yakni dengan cara drag-and-drop gambar di pencarian google images. Akan muncul foto-foto serupa beserta informasi, lalu bandingkan dengan konten yang tersebar di media sosial itu.

Verifikasi berita penculikan anak dengan Google tools (Sumber : Google)
  1. Lapor ke Pihak yang Berwajib. Karena isu penculikan anak berkaitan dengan kasus kriminal, maka langkah paling benar adalah melaporkannya kepada pihak kepolisian. Ketika mendapatkan informasi di media sosial, segera melapor di hotline pengaduan yang dibuka oleh polisi, atau di akun-akun media sosial pihak kepolisian. Di Gorontalo, misalnya, ada hotline 24 jam bernama Dumas Presisi yang dibuka oleh Polda Gorontalo. Dengan cara melalui telepon 110, atau whatsapp (WA) 0851733330986, atau di instagram @kapoldagorontalo29, dan email kapolda gorontalo29@gmail.com. Jadilah masyarakat yang bijak bermedia sosial dan tidak turut menyebarkan hoaks. Agar tidak ada lagi korban-korban lain yang terdampak dari hoaks penculikan anak.

REFERENSI: https://gorontalo.viva.co.id/nasional/1449-stop-hoaks-penculikan-anak-begini-dampak-dan-cara-menghindarinya?page=all

Tinggalkan komentar